Orientasi pada Hasil vs Proses
Andai
pada suatu ketika dirimu memberi tugas mandiri, katakanlah, membuat
layang-layang kepada 2 orang yang berbeda. Lalu beberapa waktu kemudian
pada saat yang sama keduanya menyerahkan hasil dengan kondisi tak sama.
Layang-layang pertama sangat bagus, menarik, bisa terbang tinggi dengan
sempurna. Sedangkan layang-layang kedua, tampilannya sangat sederhana
dan tidak bisa diterbangkan. Kemungkinan besar dirimu akan memberi
pujian dan nilai tinggi pada layang-layang pertama dan dirimu mungkin
tidak ingin tahu bagaimana cara mereka masing-masing dalam membuat
layang-layang itu.
Lalu bagaimana seandainya kemudian dirimu
tahu bahwa layang-layang pertama dalam prosesnya melalui sesuatu yang
tidak benar atau dikerjakan dengan cara curang? Dalam hal ini mungkin
layang-layang itu tidak dibuat sendiri, melainkan dibuatkan oleh orang
lain, atau bahkan dibeli dari seorang penjual layang-layang?
Sedangkan layang-layang kedua, tampilannya memang tak sebagus yang
pertama dan tak bisa terbang sempurna. Tapi dibalik itu ternyata dibuat
sendiri dengan usaha keras sepenuh hati. Si pembuat meraut bambu
sendiri, menggunting kertas dan benang sendiri, melukis sendiri.....
Semua dilakukan sendiri dengan serius.
Sepertinya sangatlah
tidak fair jika kita menilai sesuatu dari hasil akhir saja tanpa melihat
bagaimana proses menuju hasil tersebut. Bagaimana mungkin kita memberi
nilai tinggi pada sebuah hasil akhir yang diperoleh dengan cara curang
dan tidak jujur? Dan sebaliknya, sampai hatikah kita memberi nilai
rendah pada sebuah hasil akhir tanpa memberi penghargaan pada proses
yang dilakukan dengan jujur, mandiri, sungguh-sungguh dan sepenuh hati?
Mungkin kini saatnya kita menilai suatu prestasi atau pencapaian tidak
hanya pada hasil akhir saja, tetapi juga memberi penilaian pada proses
atau bagaimana cara seseorang mencapai hasil tersebut. Dari sini kita
bisa menilai seberapa tinggi kejujuran, kelurusan dan kebenaran
seseorang, karena hal ini berkaitan dengan moral dan budi pekerti yang
akhir-akhir ini mulai meluntur dan larut oleh pakem "target/result
oriented" tanpa peduli bagaimana prosesnya.
Seringkali ketika
kita melakukan sebuah pekerjaan, parameter utama yang menjadikan
pekerjaan kita berhasil adalah hasil yang bagus atau memuaskan. Hal ini
tentu wajar mengingat pentingnya sebuah hasil di zaman modern seperti
ini yang hanya mengedepankan penampilan tanpa memperdulikan cara-cara
untuk mencapai hasil tersebut.
Tetapi, tahukah anda pekerjaan
yang hanya berorientasi untuk mendapatkan hasil yang bagus tanpa
memikirkan orientasi pada prosesnya tidak akan berjalan dengan baik
kedepannya?
Ya, itu memang benar, karena sebuah pekerjaan apabila
tidak ada improvement pada setiap saat akan menghasilkan hasil yang
sama- sama saja, bahkan akan mendapatkan hasil yang lebih buruk.
Improvement hadir karena terdapat sebuah pembelajaran dari sebuah
pekerjaan apapun yang kita lakukan, untuk menghasilkan improvement yang
baik kita harus betul-betul mengedepankan sebuah proses orientasi setiap
pekerjaan. Dengan mengedepankan sebuah proses orientasi dalam segala
hal pasti kita juga mendapatkan hasil yang lebih baik.
Jadi
jangan takut jika hasil pekerjaan kita kurang memuaskan, karena dibalik
hasil kita yang kurang memuaskan kita mendapatkan pembelajaran dan akan
menjadi berkesinambungan apabila kita berorientasi pada prosesnya
sehingga menghasilkan sebuah improvement dan mendapatkan hasil yang
lebih baik kedepannya.
Kamis, 04 Juli 2013
Mental Block | Cara menghancurkan mental block
MENTAL BLOCK
Mental Block adalah bagian2 dalam diri kita sendiri yang “menghalangi” kita untuk tumbuh, kembang dan memperoleh pencapaian yang lebih baik.
Dengan adanya mental block ini, kita ibarat menaiki sepeda pancal, kaki kita “mancal” sekuat tenaga, sementara kedua tangan kita juga mencengkerang rem sekuat-kuatnya. Sehingga kita menjadi seolah-olah “berjalan di tempat”.
Untuk mengatasi “mental block” ini, saya ingin berbagi TIP dengan teman-teman semua. Manfaatkanlah waktu setelah sholat dan dzikir untuk melakukan “muhasabah”
Mungkin dalam diri kita, adakalanya masih muncul pikiran dan perasaan negatif seperti marah, sinis, ujub, sombong, minder, riya.
Karena sifat-sifat negatif itu akan menghalangi kita, menjadi mental block bagi kita, dalam rangka mengalirkan energi positif, dalam rangka bekerja dan berkarya dengan optimal, dalam rangka memberikan manfaat dan berkontrobusi kepada sesama dengan sebaik-baiknya.
Mungkin dalam diri kita kadangkala masih muncul sikap egois, mementingkan diri sendiri, kurang peduli pada orang lain, kurang perhatian dan kasih sayang pada keluarga.
Karena kehidupan keluarga yang gersang, kering kerontang akan “menghalangi” kita, menjadi mental block, dalam rangka bekerja, berkarya dan menikmati hidup dengan lebih baik.
Mungkin kita masih “pelit”, mau menyumbang ke masjid atau ke panti asuhan tapi dengan uang recehan yang sudah kumal. Hanya mau memberi kepada orang yang membutuhkan dengan memberikan barang-barang yang sudah “terbuang”.
Karena mana mungkin kita berharap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, mau memberi dan menyayangi kita, memberikan pemberian Nya yang terbaik bagi kita, bila kita sendiri tidak mau menyayangi dan menyantuni sesama yang membutuhkan dengan sebaik-baiknya.
Sementara kita melakukan muhasabah ucapkan, “Astaghfirullahaladzim”
Kemauan kita untuk terus “instrospeksi” sangat bermanfaat untuk menjaga kelenturan / plasticity sel-sel otak kita untuk terus tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Insya Allah.
Mental Block adalah bagian2 dalam diri kita sendiri yang “menghalangi” kita untuk tumbuh, kembang dan memperoleh pencapaian yang lebih baik.
Dengan adanya mental block ini, kita ibarat menaiki sepeda pancal, kaki kita “mancal” sekuat tenaga, sementara kedua tangan kita juga mencengkerang rem sekuat-kuatnya. Sehingga kita menjadi seolah-olah “berjalan di tempat”.
Untuk mengatasi “mental block” ini, saya ingin berbagi TIP dengan teman-teman semua. Manfaatkanlah waktu setelah sholat dan dzikir untuk melakukan “muhasabah”
Mungkin dalam diri kita, adakalanya masih muncul pikiran dan perasaan negatif seperti marah, sinis, ujub, sombong, minder, riya.
Karena sifat-sifat negatif itu akan menghalangi kita, menjadi mental block bagi kita, dalam rangka mengalirkan energi positif, dalam rangka bekerja dan berkarya dengan optimal, dalam rangka memberikan manfaat dan berkontrobusi kepada sesama dengan sebaik-baiknya.
Mungkin dalam diri kita kadangkala masih muncul sikap egois, mementingkan diri sendiri, kurang peduli pada orang lain, kurang perhatian dan kasih sayang pada keluarga.
Karena kehidupan keluarga yang gersang, kering kerontang akan “menghalangi” kita, menjadi mental block, dalam rangka bekerja, berkarya dan menikmati hidup dengan lebih baik.
Mungkin kita masih “pelit”, mau menyumbang ke masjid atau ke panti asuhan tapi dengan uang recehan yang sudah kumal. Hanya mau memberi kepada orang yang membutuhkan dengan memberikan barang-barang yang sudah “terbuang”.
Karena mana mungkin kita berharap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, mau memberi dan menyayangi kita, memberikan pemberian Nya yang terbaik bagi kita, bila kita sendiri tidak mau menyayangi dan menyantuni sesama yang membutuhkan dengan sebaik-baiknya.
Sementara kita melakukan muhasabah ucapkan, “Astaghfirullahaladzim”
Kemauan kita untuk terus “instrospeksi” sangat bermanfaat untuk menjaga kelenturan / plasticity sel-sel otak kita untuk terus tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Insya Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)